TEMPO.CO, Jakarta - Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi menjelaskan alasan pihaknya menentukan tarif MRT sebesar Rp 8.500 untuk 10 kilometer dan LRT sebesar Rp 5.000 flat. Besaran itu lebih kecil dari usulan pemerintah daerah DKI, yakni untuk MRT Rp 10.000 dan LRT Rp 6.000.
"Kami ingin tekan pengguna mobil lari ke MRT," kata Prasetio di Gedung DPRD DKI, Jakarta Pusat, Senin, 25 Maret 2019.
Baca: DPRD DKI Putuskan Tarif MRT Rp 8.500 dan LRT Rp 5.000
Prasetio sebelumnya menyebut tarif MRT sebesar Rp 8.500 untuk rute Lebak Bulus-Bundaran HI. Namun tarif tersebut adalah untuk 10 kilometer. Panjang lintasan MRT Fase 1 adalah 15 kilometer.
Prasetio mengatakan angka Rp 8.500 merupakan perpaduan usulan tarif Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) dengan BUMD. DTKJ mengusulkan tarif terintegrasi Rp 12.000 untuk MRT dan Rp 10.800 untuk LRT. Sementara BUMD mengusulkan tarif Rp 8.500 dan Rp 10.000 untuk tarif MRT serta Rp 5.000 dan Rp 7.000 untuk LRT. "Kami ambil jalan tengah, Rp8.500 untuk MRT dan LRT Rp5.000," kata dia.
Baca Juga:
Baca: Sekda DKI Sebut Tarif MRT dan LRT Masih Bisa Dinegosiasikan
Komisi B dan Komisi C DPRD DKI sebelumnya telah terlebih dahulu membahas tarif MRT dan LRT. Di masing-masing komisi itu, tarif MRT yang diusulkan Pemprov DKI sebesar Rp 10.000 dan LRT Rp 6.000. Dengan besaran tarif itu, per tahunnya pemerintah DKI harus mensubsidi sebesar Rp 672 miliar untuk MRT dan Rp 327 miliar untuk LRT.
Dengan penetapan yang baru ditetapkan oleh DPRD, Pemprov DKI dan dewan harus menghitung ulang besaran subsidinya. Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta Saefullah mengatakan pihaknya akan melaporkan terlebih dahulu hasil rapat ini ke Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Dengan adanya keputusan dewan, maka per 1 April 2019 tarif MRT dan LRT akan mulai berlaku. Tentunya setelah ada keputusan gubernur terkait tarif ini. Penetapan tarif ini menyusul peresmian MRT Jakarta Fase I Lebak Bulus-Bundaran HI, yang telah dilakukan oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada Ahad, 24 Maret 2019.